Wednesday, May 8, 2019

Kisah Teladan Tentang Pentingnya Menjaga Lisan

Hati dan lidah adalah organ terbaik jika keduanya digunakan dengan baik. Namun hati dan lidah juga bisa menjadi organ terburuk jika digunakan untuk keburukan. Ungkapan tersebut adalah milik Luqman Al Hakim seorang tokoh yang terkenal dengan tutur katanya yang penuh hikmah. Bahkan Allah subhanahu wa ta’ala mengabadikan nama beliau menjadi salah satu nama surah di dalam Al Qur’an yaitu surah Luqman.

Begitu pentingnya menjaga lisan hingga seseorang bisa terjerumus ke dalam neraka sedalam 70 tahun perjalanan karena lisannya. Dalam sejarah Islam, kisah menjaga lisan tidak hanya hadir dari seorang Luqman Al Hakim, terdapat kisah menarik dari penyair Al Mutanabbi dan tentu saja pesan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada sahabatnya Mu’adz bin Jabal.

Inilah yang menjadi masalah hari ini bahwa semua hal ingin kita komentari padahal tidak ada hubungannya dengan kita. Kalaupun kita tidak bicara, tidak kiamat dunia ini. Semestinya kita hanya mengeluarkan lisan ini sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala dalam Al Qur’anul Karim:
“Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma'ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia.” (QS. An Nisaa’: 114)

Kebanyakan pembicaraan manusia itu tidak ada baiknya kecuali kalau lisan itu dipakai untuk bicara tiga hal:
Digunakan untuk memotivasi agar orang mau bersedekah,

Digunakan untuk mengajak orang berbuat kebaikan,

Digunakan untuk mendamaikan saudara yang bertikai.

Kalau tidak maka pembicaraan kita ini rata-rata isinya adalah pembicaraan yang tidak ada baiknya sama sekali. Bukankah seseorang dijungkalkan wajahnya di neraka itu karena hasil panen lisannya?


Kisah Luqman Al Hakim
Luqman Al Hakim terkenal dengan tutur katanya yang penuh hikmah hingga mampu mengajarkan manusia yang bersalah menjadi bertaubat. Tidak hanya itu, lisan Luqman Al Hakim mampu melembutkan hati yang keras sehingga banyak masyarakat dan pemimpin yang rela mengantri di rumahnya demi mendapatkan nasihat khusus darinya.
Suatu hari, ada seorang penggembala kambing yang mendengar nama besar Luqman Al Hakim sehingga ia ingin sekali bertemu dengannya. Maka orang ini bertanya “Apa yang membuatmu sampai dimuliakan, sampai menempati posisi setinggi ini?” Luqman menjawab “Dua hal yang membuat orang diangkat derajatnya sejak di dunia”, Bagaimana nanti di akhirat Allah akan memuliakan? “Yang kedua-duanya berhubungan dengan lisan kita yakni setiap bicara harus jujur dan diamkan lisan (jangan bicara) pada urusan yang tidak ada baiknya, yang bukan urusan anda.” Kata Luqman “Itulah yang membuat saya dimuliakan sampai di posisi saya hari ini.” Ternyata karena lisan itu, kalau bicara maka bicara yang jujur dan kalau diam maka diam dari hal-hal yang tidak manfaat buat kita dan tidak ada urusannya dengan kita.

Dari kisah di atas, kita bisa belajar untuk tidak perlu bicara yang tidak ada manfaatnya untuk kita. Luqman Al Hakim juga memberikan nasihat tentang adab berbicara:
“Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.” (QS. Luqman: 19)

Kisah Al Mutanabbi
Jika Luqman Al Hakim memiliki lisan yang baik maka tidak dengan penyair ini. Ia adalah Mutanabbi ia melontarkan syair yang membuat banyak orang sakit hati dan berujung pada kematian dirinya. Seperti apakah syair yang ia buat?

Nama aslinya Abu At Tayyib Ahmad bin Al Husayn Al Mutanabbi Al Kindi namun terkenal sebagai Al Mutanabbi berasal dari kata Nabwah atau tanah yang tinggi. Hal ini karena tinggi kemampuannya dalam bersyair. Beliau lahir di Irak dari keluarga yang sederhana. Minatnya terhadap ilmu pengetahuan terutama dalam bidang syair dan sastra begitu tinggi hingga ia mampu menciptakan syair-syair yang berisi pujian orang terhormat baik ulama maupun penguasa di zaman itu. Ia pun menjadi penyair yang masyhur pada dinasti Abbasiyah.

Namun dibalik kepiawaiannya membuat syair Al Mutanabbi dikenal sebagai seorang yang berprinsip keras, tidak mudah tunduk kepada penguasa, dan sombong. Beliau tegas dalam bersyair untuk mengkritisi penguasa setempat. Akibatnya, selain keluar masuk istana, beliau juga keluar masuk penjara karena syairnya.

Al Mutanabbi itu dalam sejarah disebutkan sebagai orang yang terbunuh oleh syairnya sendiri karena syair adalah untaian lisan sehingga orang ini terbunuh karena lisannya sendiri. Al Mutanabbi pernah membuat syair, salah satu bunyi syairnya membanggakan dirinya dia mengatakan bahwa dirinya hebat dalam segala hal, bunyi syairnya adalah “Kuda, malam hari, padang pasir ini semua kenal saya. Tak hanya itu, bahkan pedang, tombak, kertas, hingga pena semua juga mengenal saya.” Artinya dia ingin katakan bahwa kalau anda ingin bicara tentang ksatria maka sayalah ksatria, kalau anda ingin bicara tentang keberanian maka sayalah pemberani, tentang masalah ilmu maka sayalah ahli ilmu karena kertas hingga pena semua mengenal saya.

Syair yang ia lontarkan justru menjadi bumerang untuknya, ada beberapa orang yang merasa tersakiti oleh syair buatannya hingga akhirnya orang-orang tersebut mencari Al Mutanabbi, mereka sangat marah dan bersiap membunuhnya. Usaha Al Mutanabbi untuk melarikan diri pun tidak berhasil karena banyaknya orang yang mengejarnya. Ketika mau lari ada seorang anak muda yang berkata “Wahai Mutanabbi, jangan sampai kamu menjadi orang yang akan dihina oleh masyarakat. Bukankah kamu yang pernah mengeluarkan syair tadi.” Maka gara-gara itulah kemudian Al Mutanabbi tidak jadi lari dan ternyata kemudian benar dia terbunuh hari itu karena dibunuh oleh sekian banyak orang dan itu menunjukkan bahwa betapa lisan itu sangat berbahaya ketika apa yang kita keluarkan karena itulah maka lisan ini mari kita ikat dengan akal dan hati kita.

Kisah Mu'adz bin Jabal
Lisan yang berasal dari daging yang tak bertulang ini ternyata sangat menentukan keselamatan kita baik di dunia maupun di akhirat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun selalu mengingatkan umatnya untuk menjaga lisan, beliau juga pernah berpesan khusus kepada sahabatnya Mu’adz bin Jabal tentang pentingnya menjaga lisan. Seperti apakah kisah lengkapnya?

Mu’adz bin Jabal termasuk Assabiqunal Awwalun golongan sahabat yang masuk Islam di awal dakwah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau masuk Islam pada usia 18 tahun, sejak saat itulah beliau mempelajari Islam lebih mendalam yang paling menonjol adalah keahliannya dalam ilmu fiqih dan hukum Islam hingga ia menjadi rujukan oleh sahabat-sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam jika ada masalah yang menyangkut dengan hukum Islam.

Tidak hanya itu, beliau juga salah satu periwayat hadits. Suatu hari, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berpesan kepada Mu’adz bin Jabal tentang pintu-pintu kebaikan dan bagaimana mengendalikannya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan “Maukah engkau wahai Mu’adz aku tunjukkan urusan yang paling penting dan puncak dari segalanya?” Kata Mu’adz “Ya, Rasulullah.” Kata Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam “Sesuatu yang paling penting itu adalah Islam dan puncaknya itu adalah Jihad.” Kemudian Nabi mengatakan “Maukah kamu aku tunjukkan yang bisa mengendalikan itu semuanya?” Kata Nabi “Tahan lisanmu.” Jadi lisan yang kecil ini sangat menentukan maka Mu’adz terheran-heran. Kata Mu’adz “Ya Rasulullah, apakah kita akan dihukum gara-gara ucapan lisan kita?” Nabi menjawab “Wahai Mu’adz, bukankah seseorang dijungkalkan wajahnya di neraka itu karena hasil panen lisannya.”
Lisan memang bagian kecil dalam tubuh kita, namun begitu besar perannya hingga agama Islam menganjurkan agar kita menjaganya. Salah satunya dengan cara lebih baik diam daripada berbicara tak tentu arah sebab kalimat yang menggoreskan hati orang lain akan lebih tajam daripada sayatan pedang sekalipun.

Kiat Menjaga Lisan
Imam Ghazali dalam karya besarnya yang berjudul Ihya Ulumuddin memaparkan sejumlah kiat agar lisan kita tidak terjerumus kepada hal-hal yang tidak baik:
Kiat pertama, jauhi perbincangan yang tak perlu apalagi kalau sekedar membicarakan aib orang lain. Rasulullah pernah menegaskan,
“Sebaik-baik keislaman seseorang adalah saat ia meninggalkan perkara yang tak bermanfaat.” (HR. Tirmidzi)

Hal ini juga berkaitan dengan anjuran Islam dalam mengatur cara bicara kita agar hanya membicarakan hal-hal yang bermanfaat saja.
Seorang ulama besar yang bernama Iyas bin Muawiyah sebagaimana dikisahkan oleh Imam Ibnu Katsir dalam kitabnya Al Bidayah Wan Nihayah dimana Iyas bin Muawiyah adalah seorang hakim yang luar biasa, ulama besar di kalangan tabi’in dari kota Basra.

Suatu hari, ada seseorang yang datang kepadanya kemudian orang itu menyebutkan keburukan seseorang, kemudian Iyas ketika ada orang datang di depannya membicarakan aib orang lain, ia bertanya “Apakah kamu pernah jihad melawan Romawi?” Orang itu menjawab “Belum pernah.” Iyas mengatakan “Bagaimana Romawi yang jelas musuh selamat dari kamu? Maka bagaimana saudara muslim tidak selamat dari lisanmu?” maka kemudian orang yang datang itu yang bernama Sufyan Al Wasiti berkata bahwa sejak itulah saya tidak lagi mau menyebut-nyebut kesalahan orang lain.

Kiat yang kedua adalah menjaga diri agar tidak terpancing kepada obrolan yang tidak baik karena ini bisa menjerumuskan kita ke neraka. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
"Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)?" Mereka menjawab: "Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat, Dan kami tidak (pula) memberi makan orang miskin, Dan adalah kami membicarakan yang bathil, bersama dengan orang-orang yang membicarakannya, Dan adalah kami mendustakan hari pembalasan, Hingga datang kepada kami kematian." (QS. Al Muddatstsir: 42-47)

Lalu kiat yang ketiga, jangan berdebat yang berlebihan. Meski pada satu sisi debat berguna untuk mendiskusikan kebenaran namun berdebat berlebihan hal yang dihindari oleh alim ulama. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Aku menjamin di surga bawah bagi orang yang meninggalkan perdebatan sekalipun ia benar dan rumah di tengah surga bagi orang yang meninggalkan dusta sekalipun untuk bercanda serta rumah di surga atas bagi orang yang bagus akhlaknya.” (HR. Abu Dawud)

Kiat terakhir adalah jauhi perkataan yang mengandung unsur permusuhan dan rasa dengki.